Official Website

Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS

Join Us On

Search

Kamis, 02 Mei 2013

Pemutaran dan Diskusi Film "Di Balik Frekuensi"


Pada Kamis, 2 Mei 2013, HIMAKOM berkerjasama dengan KINE KLUB FISIP UNS, FIESTA FM, dan SOLOPOS mengadakan sebuah acara Pemutaran dan Diskusi Film “Behind The Frequency” di Aula FISIP UNS. Acara yang berlangsung selama 3 jam ini mendapatkan antusias yang luar biasa dari penonton. Penonton tidak hanya dari mahasiswa Ilmu Komunikasi atau mahasiswa FISIP UNS, namun banyak penonton dari fakultas lain di UNS, bahkan dari masyarakat umum.

Film dokumenter “Behind The Frequency” merupakan film yang dianggap tepat untuk menyambut Hari Buruh Dunia yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Film ini mengambil dua fokus cerita. Fokus pertama menceritakan tentang Luviana seorang jurnalis Metro TV yang di PHK sepihak karena memperjuangkan kesejahteraan pekerja. Luviana mempertanyakan sistem manajemen yang tidak berpihak pada pekerja di media milik Surya Paloh ini. Luviana dipindahkan dari News Room ke HRD. Luviana tetap memperjuangkan haknya, namun pihak kantor seakan tidak menghiraukan. Walaupun sempat bertemu dengan Surya Paloh, permintaan Luviana untuk tetap bekerja di Metro TV tetap tidak dikabulkan. Luviana dibantu aliansi pekerja memperjuangkan hak Luviana. Namun, hasilnya Luviana malah dirumahkan karena dianggap mencemarkan nama perusahaan karena menggelar dema dan orasi.
Sedangkan fokus kedua bercerita tentang Hari Suwandi, warga korban lumpur Lapindo yang berunjuk rasa dengan berjalan kaki dari Sidoarjo hingga Jakarta untuk mencari keadilan bagi korban-korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Seperti yang kita tahu, bahwa PT Menarak Lapindo Jaya adalah perusahaan yang dibawahi oleh Bakrie Group dan TVone tidak menyebut kasus ini dengan Lumpur Lapindo seperti media-media lain, namun dengan sebutan Lumpur Sidoarjo. Hari Suwandi menjadi bahan pembicaraan, banyak media yang menyoroti pria paruh baya tersebut.  Metro TV adalah media yang paling gencar memberitakan Hari Suwandi. Berbeda dengan TVone, yang justru memberitakan Hari Suwandi bukanlah korban ataupun warga Sidoarjo dan dia hanya mencari sensasi dengan melakukan aksi tersebut. Merasa diremehkan, Hari Suwandi menolak jika diwawancarai oleh tim TVone, bahkan tak segan-segan mengusirnya. Namun, keadaan mulai berubah, Hari Suwandi meminta maaf kepada pihak Aburizal Bakrie atas tindakan unjuk rasanya tersebut. Dan setelah permohonan maaf itu, Suwandi seakan lenyap dari publik dan tidak kembali lagi ke Sidoarjo. Seperti halnya kucing dan anjing, Metro TV dan TVone melakukan gencatan senjata melalui berita. TVone yang gencar memberitakan tentang Luviana dibalas dengan pemberitaan Hari Suwandi oleh MetroTV. Sebuah kepentingan individu yang mengesampingkan hak-hak orang lain. Ketidakadilan yang diajukan Luviana dan Hari Suwandi malah dijadikan ajang pertarungan untuk media berita tersebut.
Film yang disutradarai Ucu Agustin tersebut membuka mata kita akan keadaan media di Indonesia saat ini. Media kehilangan independensinya. Konglomerasi media semakin kuat merasuki media-media di Indonesia. Media sekarang bukan memberitakan suatu berita yang obyektif namun memberitakan sesuatu yang sudah terkontaminasi oleh kepentingan individu. Pimpinan Media bisa memilih berita mana yang di-publish, mana yang tidak boleh di-publish, dan mana yang seharusnya di-publish secara besar-besaran seakan media adalah boneka sang pemilik kekuasaan. Keadaan ini memprihatinkan karena pada dasarnya media harus independen. Ini menyangkut bagaimana paradigma masyarakat terhadap berita yang dipublikasikan. Idealitas seorang mahasiswa komunikasi untuk menjadi jurnalis yang independen sepertinya akan terbentur oleh realitas keadaan media sekarang.
Pada sesi Diskusi, acara dimoderatori Ketua Umum Himakom, Miftah Faridl Widhagda, dengan pembicara Eka Nada Shofa Al-Khajar, S.Sos, M.Si (Akademisi Ilmu Komunikasi FISIP UNS – Pemerhati Film) dan Suwarmin (Wakil Pimpinan Redaksi Solopos – Praktisi Media Massa). Dalam diskusi, banyak pertanyaan yang diajukan peserta, antara lain :
T : Apakah ada media yang netral?
J : Untuk di televisi, tidak ada. Namun lainnya masih ada.
T:Dalam film ada percakapan sesorang dengan Suryo Paloh dengan menggunakan kata “abang”. Sebenarnya makna kata “abang” dalam konteks tersebut apa?
J: Penggunaan kata Abang dalam makna biasa itu hubungan kedekatan. Namun tanda kutip, dalam politik khususnya abang berarti atasan. Jarak yang jauh antara yang lain.


Pembicara sedang menanggapi pertanyaan peserta mengenai film "Di Balik Frekuensi"

Kesimpulannya, kita sebagai penikmat media haruslah bisa memilah dan memilih, mana yang benar dan cocok untuk dikonsumsi, karena hanya kita yang mampu merubah keadaan ini. Dan jangan melihat hanya satu pandangan media, tetapi bandingkan dengan media yang lain agar tidak terjebak dalam konstruksi media.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar tapi yang sopan ya :))